
Pada tanggal 13 Oktober 2025, program Xpose Uncensored di stasiun televisi Trans7 menayangkan sebuah segmen yang memfokuskan kehidupan di lingkungan Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Salah satu cuplikan naratif dalam tayangan itu memunculkan kalimat provokatif seperti:
“Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?”
Tayangan itu juga menampilkan penggambaran terhadap seorang kiai sepuh, KH Anwar Manshur, dengan narasi yang dianggap berlebihan, provokatif, dan tidak proporsional.
Beberapa aspek tayangan dinilai sangat menyudutkan tradisi santri seperti penghormatan kepada kiai, budaya “sowan”, atau pola relasi kepada pengasuh pesantren—yang selama ini punya makna mendalam di lingkungan pesantren — sehingga sebagian pemirsa pesantren merasa tradisi mereka digambarkan dengan stereotip negatif.
Reaksi Kalangan Santri dan Pesantren
Segera setelah tayangan tersebut mengemuka, gelombang kritik meluas dari kalangan santri, alumni pesantren, organisasi keagamaan, hingga publik umum. Beberapa poin reaksi:
- Tagar #BoikotTrans7 menggema
Warganet dan kalangan santri ramai-ramai menyerukan pemboikotan terhadap Trans7 sebagai bentuk protes. - Kecaman dari organisasi keagamaan dan alumni
- PBNU, melalui Ketua Umum Yahya Cholil Staquf, mengecam tayangan tersebut sebagai penghinaan terhadap pesantren dan kiai.
- Alumni Lirboyo menyatakan keprihatinan bahwa penggambaran terhadap kiai mereka tidak sesuai kenyataan dan merendahkan martabat lembaga pesantren.
- LBH Ansor Kota Kediri menyatakan akan memberikan “peringatan hukum” kepada pihak Trans7 terkait konten tayangan yang dianggap melecehkan.
- Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), melalui Ketum Panji Bangsa dan sejumlah kadernya, menyerukan masyarakat untuk membela kehormatan kiai dan menekan Trans7 agar meminta maaf serta mengevaluasi konten.
- Permintaan klarifikasi dan permohonan maaf dari Trans7
Menyadari reaksi keras publik, Trans7 kemudian mengirim surat permohonan maaf resmi kepada pihak Pondok Pesantren Lirboyo, khususnya kepada keluarga dan pengasuhnya.
Dalam pernyataan itu, Trans7 mengakui adanya “keteledoran dalam proses penayangan” serta menyatakan komitmen untuk tidak menampilkan pemberitaan yang merugikan kiai, santri, dan pesantren tanpa kehati-hatian. - Desakan untuk tindakan institusional
Banyak pihak mendesak agar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memanggil Trans7, menghentikan program bersangkutan, serta melakukan audit terhadap kebijakan editorial stasiun televisi tersebut.
Selain itu, ada wacana agar Trans7 dan CT Corp harus menanggung konsekuensi lebih lanjut jika tidak ada sikap jelas dan nyata memperbaiki dampak dari tayangan itu.
Analisis: Apa yang Salah?
Beberapa faktor kunci menyebabkan konflik ini:
- Kurangnya sensitivitas budaya pesantren
Tradisi dalam lingkungan pesantren—seperti penghormatan, relasi guru-murid, atau praktik “sowan”—sulit bagi penonton awam untuk dipahami jika disajikan tanpa konteks historis dan kultural. Tayangan media yang menyindir praktik tersebut bisa dianggap melecehkan. - Pendekatan sensasionalisme dan framing negatif
Kritik terhadap tayangan menyoroti bahwa pihak produksi tampak memilih sudut pandang yang provokatif, memperkuat stereotip, atau tidak menghadirkan pandangan pembela dari pihak pesantren. - Ketidakseimbangan representasi
Dalam banyak laporan, kritik muncul bahwa tayangan tersebut hanya menampilkan sisi problematik (misalnya soal “amplop”, kemewahan, penghormatan yang berlebihan) tanpa memperlihatkan manfaat, nilai positif, dan kontribusi pesanteren. - Krisis legitimasi media terhadap kelompok keagamaan
Konflik ini merefleksikan ketidakpercayaan sebagian masyarakat pesantren terhadap cara media menyajikan dunia keagamaan — terutama jika tajuknya sensasional dan mengorbankan martabat pihak keagamaan.
Implikasi dan Pelajaran
- Pentingnya etika jurnalistik dan sensitifitas sosial
Media, terutama yang menyentuh ranah budaya dan agama, perlu menegakkan prinsip keseimbangan (fairness), klarifikasi, verifikasi, serta menghormati simbol-simbol keagamaan agar tidak menyinggung kelompok tertentu. - Dialog harus didahulukan daripada frontalitas
Sebelum menyiarkan konten kontroversial, sebaiknya media melakukan dialog dengan pemangku kepentingan (pengasuh pesantren, santri) agar konteks tidak hilang dan risiko miskomunikasi dapat diminimalkan. - Perlu regulasi dan akuntabilitas penyiaran
Kasus seperti ini menegaskan urgensi fungsi pengawas penyiaran (KPI) untuk bertindak tegas ketika terjadi pelanggaran terhadap pedoman penyiaran dalam konteks agama. - Masyarakat harus kritis terhadap media
Publik, termasuk generasi muda, perlu dibekali literasi media agar tidak langsung menerima framing dangkal atau narasi provokatif sebagai kebenaran mutlak. - Peluang media memperbaiki citra pesantren
Trans7 dan media lain bisa memanfaatkan momentum ini untuk menampilkan program-program positif tentang kehidupan pesantren yang menunjukkan keberagaman nilai, kiprah sosial, dan tokoh pesantren sebagai penggerak perubahan masyarakat.
Tayangan kontroversial Trans7 yang menyoroti kehidupan pesantren Lirboyo telah menjadi pemicu protes luas di kalangan santri dan masyarakat keagamaan, hingga muncul gerakan #BoikotTrans7. Konflik ini menyoroti sensitivitas tinggi antara media dan institusi keagamaan di Indonesia. Ke depan, agar kejadian serupa tidak terulang, perlu ada keseimbangan antara kebebasan pers dan penghormatan terhadap tradisi keagamaan, serta akuntabilitas dalam penyajian konten yang menyentuh identitas dan martabat kelompok tertentu.

